Mudik, Ramadhan, dan Idul Fitri memang satu rangkaian dalam satu gerbong ritual-budaya. Sebagaimana mudik, Idul Fitri dan Ramadhan seringkali hanya bermakna sebagai rutinitas ritual tanpa makna.
Mudik, seakan telah menjadi ritus budaya, yang sedemikian mentradisi dalam masyarakat kita. Fenomena mudik berkait-kelindan dengan perayaan Idul Fitri, atau akrab disebut Lebaran. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi “kebutuhan primer” tahunan masyarakat urban. Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri yang nota bene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim.
Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana klangenan atau “jembatan nostalgia” dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, diajak bercengkerama dengan romantisme alam pedesaan, yang di dalam konsep antropologi dikenal dengan sebutan close coorporate community. Pemudik merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang lagi mereka temui di kota, karena ketatnya persaingan memburu “status”. Di sinilah ada benang merah yang dapat ditarik, mengapa keinginan pemudik untuk mengenang “sejarah” dirinya barang sejenak selalu dilakukan beriringan dengan perayaan Idul Fitri.
Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rejeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi.
Dalam konteks ini, Idul Fitri sebagai push factor mudik, sebenarnya memiliki titik temu dengan mudik. Praktis sebelas bulan lamanya manusia disibukkan dengan segala aktivitas yang bisa memalingkan dirinya dari potensi keilahian. Sejak zaman azali, Alquran telah menceritakan adanya tawar-menawar metafisis (mitsaq) yang mengisyaratkan bahwa manusia menurut fitrahnya adalah beragama (Q.s al-A’raf:172). Tapi seiring perjalanan waktu, suara Tuhan sayup-sayup tersisihkan oleh seabrek agenda kegiatan kita.
Puasa di bulan Ramadhan merupakan upaya memudikkan fitrah manusia pada jalur awalnya. Kegagalan dalam memudikkan fitrah kemanusiaan ini akan menggiring pada absurditas dalam keberagamaan. Sebagai makhluk serba terbatas (relativismus uber alles), manusia memilih beragama justru dalam rangka menyempurnakan dirinya.
Melalui Idul Fitri, manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiannya. Jika dalam paradigma modernisme, kebermaknaan dilihat dari ukuran material, maka dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuannya dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih dengan sesama manusia.
Mudik, Ramadhan, dan Idul Fitri memang satu rangkaian dalam satu gerbong ritual-budaya. Sebagaimana mudik, Idul Fitri dan Ramadhan seringkali hanya bermakna sebagai rutinitas ritual tanpa makna. Setelah Idul Fitri berlalu, festival kesalehan (formal) selama satu bulan penuh juga turut berlalu, dan masing-masing kembali pada ritme kehidupan biasanya, tanpa bekas. Kita sering memperlakukan Idul Fitri sebagai mudik: momentum nostalgia mengingat potensi keilahian dalam diri manusia untuk kemudian menanggalkannya setelah perayaan itu usai. Acapkali orang yang mudik sekadar meromantisasi masa lalunya untuk kemudian kembali pada hiruk-pikuk “dekadensi” kehidupan kota.
23 September 2007
Mudik
di 4:23:00 PM
Label: Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar